Pak Pram (Stefanus Hadi Pramana) = paling kiri, the most left.
Photo credit:
Eko Nugroho Putranto, uploaded in SMP Stella Duce 1 facebook group (salah upload)
Yes, today is teacher's day in Indonesia.
Rina Suryakusuma asked me why I have not written any entry in my blogs recently. First, my life is kinda boring, nothing much to tell except if you would like to hear my work stuff. Anyway, I just want to share a bit about a few teachers who I wrote in Schoolaholic Princess (especially Book 1).
-----
KoKi 30 Apr 2007: Schoolaholic SD -- A Tribute to Pak Pram
Zevie, kalau ini dimuat SPTB (seperti biasa, istilahnya adikku yg bungsu), mungkin saya lagi plesir-plesir di Korea. Saya gatel banget pingin nanggapi artikelnya Suhu Josh Chen soal pendidikan di Indonesia. Menurut saya, apakah anak nantinya jadi "OK" atau tidak, faktor-faktor berikut sangat penting:
1. Peranan ortu dalam memilih sekolah
2. Kemampuan & minat si anak sendiri
3. Hoki dapet guru bagus / tidak. (Bagian ini saya mau cerita soal Pak Pram, guru SD saya).
1. Ortu saya OK banget...
Intro dulu: Sekolah Pilihan Ortu
Pengalaman saya sekolah dari playgroup-SMA di Indo sangat berkesan -- dan sudah saya tuangkan dalam novel kedua (Schoolaholic Princess). Memang sekolah yang saya masuki itu semua pilihan ortu: swasta, agama -- saya tidak pernah masuk SMP / SMA negeri unggulan walau NEM saya lebih dari cukup. Ortu takut saya dicing or kena diskriminasi, soalnya by default saya orangnya berani mati, tukang ngeyel sama guru, apalagi kalau saya yakin saya bener. Terus karena saya cantik (turunan mama), dari SD udah dibajul cowok-cowok, dengan masuk sekolah tipe susteran (apalagi pas SMA cewek semua), ortu sedikit merasa lebih aman. Pas saya pingin go international, kuliah di luar (kemauan sendiri, cari univ sendiri), ortu cuma bisa "ya kalo kamu mau, cari jalan sendiri!" --> ortu lega, berarti bebas kemungkinan dicing dosen.
No les pelajaran, les macem-macem YES!
Saya tidak menutup mata kalau banyak teman-teman yang "les pelajaran tambahan" sama wali kelas. Saya sendiri TIDAK PERNAH NGELES PELAJARAN dari SD-SMA. Ortu justru suruh saya ngeles di luar pelajaran sekolah. Ortu ngeliat tingkah laku anak-anaknya, terus ditanyain: mau les English gak? (waktu itu English belum diajarkan di SD). Mau les organ gak? Mau les nari gak? Mau les renang gak? Anaknya juga kepinginan (lagi musim film silat) -- Ma, mbok aku ngeles Mandarin ya. (Tapi ya gitu deh, otak saya gak bisa ngapal tulisan aneh-aneh). Ortu cuma pingin anaknya nggak bosen acara sekolahan terus. Jadi di luar jam sekolah ya kalau mau beraktivitas, pilih yang di luar pelajaran sekolah aja. Ternyata ini bagus untuk perkembangan otak!
Foundation kesadaran belajar sendiri: IBU dan GURU
I have to thank my mom for her patience in giving me the foundation of strong maths and Indonesian spelling. Dulu saya kelas 1 bego banget, taunya 11 itu ya sebelas, setelah 10, gak tau satuan itu apa puluhan itu apa. Jadi dapet nol deh PS math -- wah langsung diceblek tangan saya 10x sama Mama. Pas IPA dapet 6 gara-gara salah spelling dingin jadi "dinggin" --> 4 nomer sendiri! Jadi bukan salah konsep IPA, tapi masalah pengejaan. Sejak saat itu, kalau Mama nemu saya salah eja, dipastikan saya harus menyalin kata yang salah eja 10x. Hasilnya tok cer. Kalau nulis tangan (bukan ngetik loh ya, ngetik kan typo karena salah pencet) -- saya hemat tip ex alias jarang salah, sampe teman-teman pas SMA heran. Tip ex satu bisa tahan 3 tahun hahaha =D
Waktu SD itu, saya ditanamkan konsep: pelajaran gampang gini, dapet 10 dong! Jangan mudah puas sama nilai 8/9. Tapi sayangnya, Mama gak telaten gitu ke semua adik-adik (maklum kebanyakan anak). Jadi sekarang giliran saya yang "membantai" adik bungsu.
2. Pak Pram, a teacher who moulded my personality
Sekarang Yunisa dikenal sbg cewek super PD itu karena Pak Pram -- nama lengkap: St. H. Pramana (wali kelas 6), ulang tahunnya hari Natal (hasil saya ngecek kantor Tata Usaha sebelum kelulusan haha, telat yah) -- dia adalah guru SD paling keren. Dia membuat saya merasa "it is OK" just to be myself, gak usah takut kalau saya emang mengepakkan sayap lebih tinggi daripada teman-teman. Guru-guru lain OK juga sih, mereka membuat saya merasa normal, gak beda sama teman-teman lain... Mereka belum mengajarkan self acceptance in real term. Baru general identification with peers doang. Lain halnya dengan Pak Pram (mungkin karena dia juga udah senior waktu ngajar saya). Tapi kelihatan sekali kalau he has the passion to teach.
Unforgettable, he will always be in my heart. Pak Pram was the one who made me a Schoolaholic in real term. He made me love every single lesson, thrist to know more... He made me realize that it's OK to believe in myself. He made my world every single day -- jadi kalau sakit rasanya rugi banget -- Yunisa harus diusir: jangan masuk, nanti temenmu ketularan! Baru deh gak masuk.
Cara dia nerangin itu fun abiz. Misal IPS, ibukota Tibet.
Pak Pram: "Kemarin hari apa?"
Murid: "Selasa."
Pak Pram: "Nah, ibukota Tibet itu Lasha."
Pelajaran EYD + grammar bahasa Indo dari Pak Pram, waduh, itu senjata yang bikin saya menang melawan guru-guru bahasa Indonesia di SMP-SMA (salut buat Pak Pram). Sampai sekarang saya masih bisa kalau disuruh nulis surat resmi kantoran berbahasa Indonesia resmi, tapi di KoKi -- biarlah lotek n gado-gado aja bahasanya hehehe =P
Pak Pram juga emphasized: "Anak-anak, saya cuma menerangkan bahan ini sekali! Gak bakal balik lagi ke bahan ini soalnya kalian kelas 6, harus persiapan ujian, semua bahan dari kalian kelas 1 harus dikuasai! Jadi kalau kalian nggak ngerti bab ini, ya harus tanya hari ini!" Aturan main itu saya pegang selama saya sekolah. Bahan yang diterangkan hari itu, harus dimengerti hari itu (tidak berhasil pas kuliah S1 jurusan matematika -- yang bikin saya mutung, banting setir jurusan S2nya).
Filosofi lain yang diajarkan: "Materi pelajaran itu seperti tepung. Kalau kalian menguasai tepungnya, disuruh bikin roti macem-macem juga bisa! Soal-soal itu kan cuma perintah suruh bikin roti jenis apa!" Ini saya pegang sampai saya lulus SMA. Jadi kalau mau dikasih soal muter-muter kayak apa, asal saya menguasai materinya, saya punya keyakinan, pasti bisa dikerjakan.
Pak Pram itu guru sekaligus mbah dukun??? Karena saya ketua kelas, saya sering banget stay back, beresin kelas, diajak ngobrol istirahat, kalo ada tawaran lomba selalu dikasih tau pertama... Suatu hari pas belajar topik ASEAN, dia bilang kalau saya nanti di Singapura. Waktu itu saya cuma melongo aja. (Pak Pram punya kemampuan metafisik, dia juga bisa ngobati mata timbilen / bintitan dengan air putih yang dia doakan dulu).
Terus kalau nerangin matematika, Pak Pram terang-terangan main "cepat tepat" -- yang tau jawaban tunjuk jari. Dan walau saya angkat tangan pertama, dia gak pernah suruh saya jawab, selalu dikasih temen lain dulu sebelum akhirnya ke saya. Dan pernah, jawaban saya itu beda sendiri sekelas (melawan 40 anak). Dialog berikut membangkitkan rasa super PD saya (di P4 dulu namanya asas kepercayaan terhadap diri sendiri).
Pak Pram: Yun, kamu yakin jawabanmu benar?
Saya: Ya!
Pak Pram: Gak takut tuh nanti kalau dimusuh teman-teman sekelas soalnya jawabanmu beda sendiri?
Saya: Ngapain takut, Pak?
Pak Pram: Bagus! Kalau kamu benar, harus berani mempertahankan jawabanmu, walau itu melawan sekelas! Memang jawaban yang benar jawabannya Yunisa.
Dan sering, kalau teman-teman lain semua udah stuck, couldn't solve the problem given by Pak Pram, baru Pak Pram minta saya explain ke kelas solusi saya. His approached in using me to explain my logic to the class really trained me in public speaking, scientific presentation. Pak Pram juga adalah guru pertama yang mengindikasikan kalau ketepatan pilihan kosakata saya "di atas rata-rata" teman-teman sebaya -- saya menganggap normal deh kalau nilai mengarang saya bagus (belum ada niat sama sekali jadi novelis waktu itu).
Segi fun Pak Pram: kalau sekelas bosen, takut ulangan pelajaran lain, tau-tau kita semua disuruh berdiri n nyanyi. Kadang suruh tepuk Pramuka. Rame deh!
(bersambung)
No comments:
Post a Comment